Download PDF FILE HERE
BAB
I
PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang
Masalah pokok yang dihadapi guru, baik pemula maupun yang sudah
berpengalaman adalah pengelolaan kelas. Aspek yang paling sering didiskusikan
oleh penulis profesional dan oleh para pengajar adalah juga pengelolaan kelas.
Mengapa demikian? Jawabnya sederhama. Pengelolaan kelas merupakan masalah
tingkah laku yang kompleks, dan guru menggunakannya untuk meciptakan dan
mempertahankan kondisi kelas sedemikian rupa sehingga anak didik dapat mencapai
tujuan pengajaran efisien dan menggunakan mereka dapat belajar. Dengan demikian
pengelolaan kelas yang efektif adalah syarat bagi pengajaran yang efektif.
Tugas utama dan paling sulit bagi guru adalah pengelolaan kelas, lebih-lebih
tidak ada satu pun pendekatan yang dikatakan paling baik.
Dengan masalah yang telah bukan rahasia umum itu maka penulis menarik
kesimpulan untuk lebih membuka lagi mengenai judul yang akan kami bahas yaitu
“Pengelolaan Kelas” yang mana di dalamnya terdapat beberapa masalah-masalah
pengelolaan kelas.
B. Rumusan
Masalah
Dalam
penulisan makalah ini terdapat beberapa rumusan masalah yang akan kami bahas
yaitu:
1.
Apa itu Pengertian Pengelolaan kelas?
2.
Apa Tujuan Pengelolaan Kelas?
3.
Apa peran guru dalam strategi pengelolaan kelas?
4.
Apa Saja Prinsip-prinsip Pengelolaan Kelas?
5.
Apa Saja Pendekatan-Pendekatan dalam pengelolaan
kelas?
6.
Bagaimana Penataan ruang kelas?
7.
Apa Yang Menjadi Masalah dalam pengelolaan kelas?
C. Tujuan
Penulisan
Adapun tujuan dari penulisan makalah ini adalah untuk menambah wawasan mengenai
pengelolaan kelas dengan interaksi komunikatif siswa. Adapun rincian yang ingin
di capai dalam pembahasan makalah ini adalah:
1.
Agar dapat memahami pengertian Pengelolaan kelas
2.
Agar dapat mengetahui Tujuan dari Pengelolaan Kelas
3.
Agar dapat mengetahui Peran guru dalam strategi
pengelolaan kelas
4.
Agar mengetahui Prinsip-prinsip dalam pengelolaan
Kelas
5.
Agar mengetahui Pendekatan-Pendekatan dalam
pengelolaan kelas
6.
Agar dapat memahami Penataan ruang kelas
7.
Agar dapat mengetahui Masalah yang timbul dalam
pengelolaan kelas
BAB
II
KAJIAN
TEORITIS
A. Pengertian
Pengelolaan Kelas
Pengelolaan kelas terdiri dari dua kata, yaitu pengelolaan dan kelas.
Pengelolaan itu sendiri asal katanya adalah “kelola”, ditambah awalan “pe” dan akhiran
“an”. Istilah lain dari kata pengelolaan adalah “manajemen”. Manajemen adalah
kata yang aslinya dari bahasa Inggris, yaitu “management”, yang berarti
ketatalaksanaan, tata pimpinan, pengelolaan. Manajemen atau pengelolaan dalam
pengertian umum menurut Suharsimi Arikunto (1990;2) adalah pengadministrasian,
pengaturan atau penataan suatu kegiatan.[1]
Sedangkan kelas menurut Oemar Hamalik (1987:311) adalah suatu kelompok
orang yang melakukan kegiatan belajar bersama, yang mendapat pengajaran dari
guru.[2]
Pengelolaan kelas adalah suatu usaha yang dengan sengaja dilakukan guna
mencapai tujuan pengajaran. Kesimpulan sederhananya adalah pengelolaan kelas
merupakan kegiatan pengaturan kelas untuk kepentingan pengajaran.[3]
Dalam konteks yang demikian itulah kiranya pengelolaan kelas penting
untuk diketahui oleh siapapun juga yang menerjunkan dirinya kedalam dunia
pendidikan.
Sedangkan menurut Sudirman N, dalam (dkk. 1991; 310), pengelolaan kelas
adalah upaya mendayagunakan potensi kelas. Ditambahkan lagi oleh Hadari Nawawi
(1989;115), dengan mengatakan bahwa kegiatan manajemen atau pengelolaan kelas
dapat diartikan sebagai kemampuan guru atau wali kelas dalam mendayagunakan
potensi kelas berupa pemberian kesempatan yang seluas-luasnya pada setiap
personal untuk melakukan kegiatan-kegiatan yang kreatif dan terarah sehingga
waktu dan dana yang tersedia dapat dimanfaatkan secara efisien untuk melakukan
kegiatan-kegiatan kelas yang berkaitan dengan kurikulum dan perkembangan murid.[4]
B. Tujuan
dari Pengelolaan Kelas
Tujuan pengelolaan kelas pada hakikatnya telah terkandung dalam tujuan
pendidikan. Secara umum pengelolaan kelas adalah penyedian fasilitas bagi
bermacam macam kegiatan belajar siswa dalam lingkungan sosial, emosional, dalam
intelektual dalam kelas. Fasilitas yang demikian itu memungkinkan siwa belajar
dan bekerja, terciptanya suasana sosial yang memberikan kepuasan, suasana
disiplin, perkembangan intelektual, emosional dan sikap serta apresiasi pada
siswa. (Sudirman N, 1991, 311)
Suharsimi Arikunto (1988:68) berpendapat bahwa tujuan pengelolaan kelas
adalah agar setiap anak di kelas dapat bekerja dengan tertib sehingga tercapai
tujuan pengajaran secara efektif dan efisien.[5]
Terkait dari penjelasan diatas dalam hal pengelolaan kelas dapat pula
ditinjau dari segi interaksi komunikatif. Artinya seorang guru dituntut mampu
mengatur segala kondisi apapun yang terjadi didalam kelas saat pebelajaran
berlangsung agar terciptanya komunikasi dua arah yaitu antara guru dengan
murid, murid dengan guru sehingga proses belajar-mengajar dapat berlangsung
dengan baik. Hal ini bertujuan untuk memudahkan sekaligus meringankan tugas
guru atau wali kelas.
C. Peran
guru dalam strategi pengelolaan kelas
Pada dasarnya proses belajar mengajar merupakan inti dari proses
pendidikan secara keseluruhan, di antaranya guru merupakan salah satu faktor
yang penting dalam menentukan berhasilnya proses belajar mengajar di dalam
kelas. Oleh karena itu guru dituntut untuk meningkatkan peran dan
kompetensinya, guru yang kompeten akan lebih mampu menciptakan lingkungan
belajar yang efektif dan akan lebih mampu mengelola kelasnya sehingga hasil
belajar siswa berada pada tingkat yang optimal. Adam dan Decey (dalam Usman,
2003) mengemukakan peranan guru dalam proses belajar mengajar adalah sebagai berikut:
(a) guru sebagai demonstrator, (b) guru sebagai pengelola kelas, (c) guru
sebagai mediator dan fasilitator dan (d) guru sebagai valuator.
1. Guru
Sebagai Demonstrator
Guru menjadi sosok yang ideal bagi siswanya hal ini dibuktikan apabila
ada orang tua yang memberikan argumen yang berbeda dengan gurunya maka siswa
tersebut akan menyalahkan argumen si orangtua dan membenarkan seorang guru.
Guru adalah acuan bagi peserta didiknya oleh karena itu segala tingkah laku
yang dilakukannya sebagian besar akan ditiru oleh siswanya. Guru sebagai
demonstrator dapat diasumsikan guru sebagai tauladan bagi siswanya dan contoh
bagi peserta didik.
2. Guru
Sebagai Pengelola Kelas
Evaluator atau menilai sangat penting adalah rangkaian pembelajaran
karena setiap pembelajaran pada akhirnya adalah nilai yang dilihat baik
kuantitatif maupun kualitatif. Rangkaian evaluasi meliputi persiapan,
pelaksanaan, evaluasi. Tingkat pemikiran ada beberapa tingkatan antara lain:
-
Mengetahui
-
Mengerti
-
Mengaplikasikan
-
Analisis
-
Sintesis (analisis dalam berbagai sudut)
-
Evaluasi
Manfaat evaluasi bisa digunakan sebagai umpan balik untuk siswa sehingga
hasil nilai ini bukan hanya suatu point saja melainkan menjadi solusi untuk
mencari kelemahan di pembelajaran yang sudah diajarkan. Hal -hal yang paling
penting dalam melaksanakan evaluasi. Harus dilakukan oleh semua aspek baik
efektif, kognitif dan psikomotorik. Evaluasi dilakukan secara terus menerus
dengan pola hasil evaluasi dan proses evaluasi. Evalusi dilakuakan dengan
berbagai proses instrument harus terbuka.
3. Guru
Sebagai Mediator Dan Fasilitator
Manager memenage kelas, tanpa kemampuan ini maka performence dan karisma
guru akan menurun, bahkan kegiatan pembeajaran bisa kacau tanpa tujuan. Guru
Sebagai Pengelola Kelas, agar anak didik betah tinggal di kelas dengan motivasi
yang tinggi untuk senantiasa belajar di dalamnya. Beberapa fungsi guru sebagai
pengelola kelas: Merancang tujuan pembelajaran mengorganisasi beberapa sumber
pembelajaran Memotivasi, mendorong, dan menstimulasi siswa. Ada 2 macam dalam
memotivasi belajar bisa dilakukan dengan hukuman atau dengan reaward Mengawasi
segala sesuatu apakah berjalan dengan lancar apa belum dalam rangka mencapai
tujuan pembelajaran.
4. Guru
Sebagai Evaluator
Seorang guru harus dapat menguasai benar materi yag akan diajarkan juga
media yang akan digunakan bahkan lingkungan sendiri juga termasuk sebagai
sember belajar yang harus dipelajari oleh seorang guru. Seorang siswa mempunyai
beberapa kemampuan menyerap materi berbeda-beda oleh karena itu pendidik harus
pandai dalam merancang media untuk membantu siswa agar mudah memahami
pelajaran. Keterampilan untuk merancang media pembelajaran adalah hal yang
pokok yang harus dikuasai, sehingga pelajaran yang akan diajarkan bisa dapat
diserap dengan mudah oleh peserta didik. Media pembelajaran didalam kelas
sangat banyak sekali macamnya misalkan torsu, chart maket, LCD, OHP/OHT, dll.
D. Prinsip-prinsip
dalam pengelolaan Kelas
Dalam rangka memperkecil masalah gangguan dalam kelas, prinsip-prinsip
pengelolaan kelas dapat dipergunakan. Maka adalah penting bagi guru untuk
mengetahui dan menguasai prinsi-prinsip pengelolaan kelas, yang di uraikan
berikut ini:
1.
Hangat dan antusias
Hangat dan antusias diperlukan dalam proses belajar mengajar guru yang
hangat dan akrab engan anak didik selalu menunjukkan antusias pada tugasnya
atau pada aktivitasnya akan berhasil dalam mengimplementasikan pengelolaan
kelas
2.
Tantangan
Penggunaan kata-kata, tindakan, cara kerja atau bahan-bahan yang
menantang akan meningkatkan gairah anak didik untuk belajar sehingga mengurangi
kemungkinan munculnya tingkah laku yang menyimpang
3.
Bervariasi
Penggunaan alat atau media atau alat bantu, gaya mengajar guru, pola
interaksi antara guru dan anak didik mengurangi munculnya gangguan, kevariasian
dalam penggunaan apa yang dsi sebut diatas merupakan kunci untuk tercapainya
pengelolaan kelas yang efektif.
4.
Keluesan
Keluesan tingkah laku guru untuk mengubah strategi mengajarnya dapat
mencegah kemungkinan munculnya gangguan anak didik serta menciptakan iklim belajar
mengajar yang efektif.
5.
Penekanan pada hal-hal yang positif
Pada dasarnya, dalam mengajar dan mendidik, guru harus menekankan pada
hal-hal yang positif, dan menghindari pemusatan perhatian anak didik pada
hal-hal yang negatif. Penekanan tersebut dapat dilakukan dengan pemberian
penguatan yang positif, dan kesadaran guru untuk menghindari kesalahan Yang
dapat mengganggu jalannya proses belajar mengajar
6.
Penanaman disiplin diri
Tujuan akhir dari pengelolaan kelas adalah anak didik dapat mengembangkan
disiplin diri sendiri. Karena itu, guru sebaiknya selalu mendorong anak didik
untuk melaksanakan disiplin diri sendiri dan guru sendiri hendaknya menjadi
teladan mengenai pengendalian diri dan pelaksanaan tanggung jawab. Jadi, guru
harus disiplin dalam segala hal bila ingin anak didiknya itu disiplin
berdisiplin dalam segala hal.[6]
E. Pendekatan-Pendekatan
dalam pengelolaan kelas
Manajemen kelas bukanlah masalah yang berdiri sendiri, tetapi terkait
dengan berbagai faktor. Permasalahan anak didik adalah faktor utama yang
dilakukan guru tidak lain adalah untuk meningkatkan kegairahan siswa baik
secara berkelompok maupun secara individual.
Keharmonisan hubungan guru dan anak didik, tingginya kerjasama diantara
siswa tersimpul dalam bentuk interaksi. Lahirnya interaksi yang optimal
bergantung dari pendekatan yang guru lakukan dalam rangka pengelolaan kelas. (Djamarah
2006:179)
Berbagai pendekatan tersebut adalah seperti dalam uraian berikut:
1.
Pendekatan Kekuasaan
Pengelolaan kelas diartikan sebagai suatu proses untuk mengontrol
tingkah laku anak didik. Peranan guru disini adalah menciptakan dan
mempertahankan situasi disiplin dalam kelas. Kedisiplinan adalah kekuatan yang
menuntut kepada anak didik untuk mentaatinya. Di dalamnya ada kekuasaan dan norma
yang mengikat untuk ditaati anggota kelas. Melalui kekuasaan dalam bentuk norma
itu guru mendekatinya.
2.
Pendekatan Ancaman
Dari pendekatan ancaman atau intimidasi ini, pengelolaan kelas adalah
juga sebagai suatu proses untuk mengontrol tingkah laku anak didik. Tetapi
dalam mengontrol tingkah laku anak didik dilakukan dengan cara memberi ancaman,
misalnya melarang, ejekan, sindiran, dan memaksa.
3.
Pendekatan Kebebasan
Pengelolaan diartikan secara suatu proses untuk membantu anak didik agar
merasa bebas untuk mengerjakan sesuatu kapan saja dan dimana saja. Peranan guru
adalah mengusahakan semaksimal mungkin kebebasan anak didik.
4.
Pendekatan Resep
Pendekatan resep (cook book) ini dilakukan dengan memberi satu daftar
yang dapat menggambarkan apa yang harus dan apa yang tidak boleh dikerjakan
oleh guru dalam mereaksi semua masalah atau situasi yang terjadi di kelas.
Dalam daftar itu digambarkan tahap demi tahap apa yang harus dikerjakan oleh
guru. Peranan guru hanyalah mengikuti petunjuk seperti yang tertulis dalam
resep.
5.
Pendekatan Pengajaran
Pendekatan ini didasarkan atas suatu anggapan bahwa dalam suatu
perencanaan dan pelaksanaan akan mencegah munculnya masalah tingkah laku anak
didik, dan memecahkan masalah itu bila tidak bisa dicegah. Pendekatan ini
menganjurkan tingkah laku guru dalam mengajar untuk mencegah dan menghentikan
tingkah laku anak didik yang kurang baik. Peranan guru adalah merencanakan dan
mengimplementasikan pelajaran yang baik.
6.
Pendekatan Perubahan Tingkah Laku
Sesuai dengan namanya, pengelolaan kelas diartikan sebagai suatu proses
untuk mengubah tingkah laku anak didik. Peranan guru adalah mengembangkan
tingkah laku anak didik yang baik, dan mencegah tingkah laku yang kurang baik.
Pendekatan berdasarkan perubahan tingkah laku (behavior modification approach)
ini bertolak dari sudut pandangan psikologi behavioral.
Program atau kegiatan yang yang mengakibatkan timbulnya tingkah laku
yang kurang baik, harus diusahakan menghindarinya sebagai penguatan negatif
yang pada suatu saat akan hilang dari tingkah laku siswa atau guru yang menjadi
anggota kelasnya. Untuk itu, menurut pendekatan tingkah laku yang baik atau
positif harus dirangsang dengan memberikan pujian atau hadiah yang menimbulkan
perasaan senang atau puas.
Sebaliknya, tingkah laku yang kurang baik dalam melaksanakan program
kelas diberi sanksi atau hukuman yang akan menimbulkan perasaan tidak puas dan
pada gilirannya tingkah laku tersebut akan dihindari
7.
Pendekatan Sosio-Emosional
Pendekatan sosio-emosional akan tercapai secarta maksimal apabila
hubungan antar pribadi yang baik berkembang di dalam kelas. Hubungan tersebut
meliputi hubungan antara guru dan siswa serta hubungan antar siswa. Didalam hal
ini guru merupakan kunci pengembangan hubungan tersebut. Oleh karena itu
seharusnya guru mengembangkan iklim kelas yang baik melalui pemeliharaan
hubungan antar pribadi di kelas. Untuk terrciptanya hubungan guru dengan siswa
yang positif, sikap mengerti dan sikap ngayomi atau sikap melindungi.
8.
Pendekatan Kerja Kelompok
Dalam pendekatan in, peran guru adalah mendorong perkembangan dan kerja
sama kelompok. Pengelolaan kelas dengan proses kelompok memerlukan kemampuan
guru untuk menciptakan kondisi-kondisi yang memungkinkan kelompok menjadi
kelompok yang produktif, dan selain itu guru harus pula dapat menjaga kondisi
itu agar tetap baik. Untuk menjaga kondisi kelas tersebut guru harus dapat
mempertahankan semangat yang tinggi, mengatasi konflik, dan mengurangi
masalah-masalah pengelolaan.
9.
Pendekatan Elektis atau Pluralistik
Pendekatan elektis (electic approach) ini menekankan pada potensialitas,
kreatifitas, dabn inisiatif wali atau guru kelas dalam memilih berbagai
pendekatan tersebut berdasarkan situasi yang dihadapinya. Penggunaan pendekatan
itu dalam suatu situasi mungkin dipergunakan salah satu dan dalam situasi lain
mungkin harus mengkombinasikan dan atau ketiga pendekatan tersebut. Pendekatan
elektis disebut juga pendekatan pluralistik, yaitu pengelolaan kelas yang
berusaha menggunakan berbagai macam pendekatan yang memiliki potensi untuk
dapat menciptakan dan mempertahankan suatu kondisi memungkinkan proses belajar
mengajar berjalan efektif dan efisien. Guru memilih dan menggabungkan secara
bebas pendekatan tersebut sesuai dengan kemampuan dan selama maksud dan penggunaannnya
untuk pengelolaan kelas disini adalah suatu set (rumpun) kegiatan guru untuk
menciptakan dan mempertahankan kondisi kelas yang memberi kemungkinan proses
belajar mengajar berjalan secara efektif dan efisien.
F. Penataan
ruang kelas
Meneciptakan suasana belajar yang menggairahkan perlu memeperhatikan
peraturan/penataan ruang kelas/belajar. Penyusunan dan pengaturan belajar
hendaknya memungkinkan anak didik duduk berkelompok dan memudahkan anak didik
bergerak secara leluasa. Dalam pengaturan ruang belajar, hal-hal yang
diperhatikan adalah:
1. Ukuran
dan bentuk kelas
2. Bentuk
serta ukuran bangku dan meja anak didik
3. Jumlah
anak didik dalam kelas
4. Jumlah
anak didik dalam setiap kelompok
5. Jumlah
kelompok dalam kelas
Komposisi anak didik dalam kelompok (seperti anak didik pandai dengan
anak didik kurang pandai, pria dengan wanita).[7]
KAJIAN
KRITIS
A. Masalah
yang timbul dalam pengelolaan kelas
Keaneka macaman masalah perilaku siswa itu menimbulkan beberapa masalah
pengelolaan kelas. Menurut made pidarta masalah-masalah pengelolaan kelas yang
berhubungan dengan perilaku siswa adalah:
1.
Kurang kesatuan, dengan adanya kelompok-kelompok,
klik-klik, dan pertentangan jenis kelamin.
2.
Tidak ada standar perilaku dalam bekerja kelompok,
misalnya ribut, bercakap-cakap, bergi kesana-kemari, dan sebagainya
3.
Reaksi negatif terhadap anggota kelompok, misalnya
ribut, bermusuhan, mengucilkan, merendahkan kelompok bodoh dan sebagainya
4.
Kelas mentolerasi kekeliruan-kekeliruan temannya,
ialah menerima dan mendorong perilaku siswa yang keliru.
5.
Mudah mereaksi negatif atau terganggu misalnya
didatangi monitor, tamu-tamu, iklim yang berubah dan sebagainya
6.
Moral rendah, permusuhan dan agresif misalnya dalam
lembaga dengan alat-alat belajar kurang, kekurangan uang, dan sebagainya
7.
Tidak mampu menyesuaikan dengan lingkungan yang
berubah, seperti tugas-tugas tambahan, anggota kelas yang baru, situasi baru
dan sebagainya.
Kegiatan interaksi edukatif dengan pendekatan kelompok menghendaki
peninjauan pada aspek perbedaan individual anak didik. Postur tubuh anak didik
yang tinggi sebaiknya di tempatkan di belakang. Anak didik yang mengalami
gangguan penglihatan atau pendengaran sebaiknya di tempatkan di depan kelas.
Dengan begitu, mata anak didik yang minus dapat melihat tulisan di papantulis
dengan cukup baik. Penempatan anak didik yang mengalami ganggung pendengaran
didepan akan mempermudah si anak untuk menyimak apa yang disampaikan guru.
Pengaturan tempat duduk sebenarnya akan berhubungan dengan permasalahan
siswa sebagai individu dengan perbedaan pada aspek biologis, intelektual, dan
psikologis. Tetapi di dalam perbedaan dari ketiga aspek itu ada juga terselip
persamaannya, persamaan dan perbedaan dimaksud adalah:
1.
Persamaan dan perbedaan dalam kecerdasan (inteligensi)
2.
Persamaan dan perbedaan dalam kecakapan
3.
Persamaan dan perbedaan dalam hasil belajar
4.
Persamaan dan perbedaan dalam bakat
5.
Persamaan dan perbedaan dalam sikap
6.
Persamaan dan perbedaan dalam kebiasaan
7.
Persamaan dan perbedaan dalam pengetahuan /pengalaman
8.
Persamaan dan perbedaan dalam ciri-ciri jasmaniah
9.
Persamaan dan perbedaan dalam minat
10.
Persamaan dan perbedaan dalam cita-cita
11.
Persamaan dan perbedaan dalam kebutuhan
12.
Persamaan dan perbedaan dalam kepribadian
13.
Persamaan dan perbedaan dalam pola-pola dan tempo
perkembangan
14.
Persamaan dan perbedaan dalam latar belakang
lingkungan
Berbagai persamaan dan perbedaan kepribadian siswa diatas, berguna dalam
membantu usaha pengaturan kelas. Terutaman berhubungan dengan masalah bagaimana
pola pengelompokan siswa guna menciptakan lingkungan belajar yang aktif dan
kreatif, sehingga kegiatan belajar yang penuh kesenangan dan bergairah dapat
bertahan dalam waktu yang relatif lama.[8]
Masalah manajemen kelas
dapat dikelompokkan kedalam dua kategori yaitu masalah individual dan masalah
kelompok (Entang dan Joni, 1983). Masalah individu digolongkan berdasar atas
anggapan dasar bahwa tingkah laku manusia itu mengarah pada pencapaian suatu
tujuan. Setiap individu memiliki kebutuhan dasar untuk memiliki dan untuk
merasa dirinya berguna. Jika seorang individu gagal mengembangkan rasa memiliki
dan rasa dirinya berharga maka dia akan bertingkah laku menyimpang.
Ada empat jenis
penyimpangan tingkah laku, yaitu tingkah laku menarik perhatian orang lain,
mencari kekuasaan, menuntut balas dan memperlihatkan ketidakmampuan. Keempat
tingkah laku ini diurutkan makin lama makin berat. Misalnya, seorang anak yang
gagal menarik perhatian orang lain boleh jadi menjadi anak yang mengejar
kekuasaan.
Pertama, attention
getting behaviors (pola perilaku mencari perhatian). Seorang siswa yang gagal
menemukan kedudukan dirinya secara wajar dalam suasana hubungan sosial yang
saling menerima biasanya (secara aktif ataupun pasif) bertingkah laku mencari
perhatian orang lain. Tingkah laku destruktif pencari perhatian yang aktif
dapat dijumpai pada anakanak yang suka pamer, melawak (memperolok), membuat
onar, memperlihatkan kenakalan, terus menerus bertanya; singkatnya, tukang
rewel. Tingkah laku destruktif pencari perhatian yang pasif dapat dijumpai pada
anak-anak yang malas atau anak-anak yang terus meminta bantuan orang lain.
Kedua, power seeking
behaviors (pola perilaku menunjukkan kekuatan/kekuasaan). Tingkah laku mencari
kekuasaan sama dengan perhatian yang destruktif, tetapi lebih mendalam. Pencari
kekuasaan yang aktif suka mendekat, berbohong, menampilkan adanya pertentangan
pendapat, tidak mau melakukan yang diperintahkan orang lain dan menunjukkan
sikap tidak patuh secara terbuka. Pencari kekuasaan yang pasif tampak pada
anak-anak yang amat menonjolkan kemalasannya sehingga tidak melakukan apa-apa
sama sekali. Anak-anak ini amat pelupa, keras kepala, dan secara pasif
memperlihatkan ketidakpatuhan.
Ketiga adalah revenge
seeking behaviors (pola perilaku menunjukkan balas dendam). Siswa yang menuntut
balas mengalami frustasi yang amat dalam dan tidak menyadari bahwa dia
sebenarnya mencari sukses dengan jalan menyakiti orang lain. Keganasan,
penyerangan secara fisik (mencakar, menggigit, menendang) terhadap sesama
siswa, petugas atau pengusaha, ataupun terhadap binatang sering dilakukan
anak-anak ini. Anak-anak seperti ini akan merasa sakit kalau dikalahkan, dan
mereka bukan pemain-pemain yang baik (misalnya dalam pertandingan). Anak-anak
yang suka menuntut balas ini biasanya lebih suka bertindak secara aktif
daripada pasif. Anak-anak penuntut balas yang aktif sering dikenal sebagai
anak-anak yang ganas dan kejam, sedang yang pasif dikenal sebagai anak-anak
pencemberut dan tidak patuh (suka menetang).
Terakhir adalah
helplessness (peragaan ketidakmampuan). Siswa yang memperlihatkan
ketidakmampuan pada dasarnya merasa amat tidak mampu berusaha mencari sesuatu
yang dikehendakinya (yaitu rasa memiliki) yang bersikap menyerah terhadap
tantangan yang menghadangnya; bahkan siswa ini menganggap bahwa yang ada
dihadapannya hanyalah kegagalan yang terus menerus. Perasaan tanpa harapan dan
tidak tertolong lagi ini biasanya diikuti dengan tingkah laku mengundurkan
diri. Sikap yang memperlihatkan ketidakmampuan ini selalu berbentuk pasif.
Masalah-masalah yang sama juga dinyatakan oleh Tilestone (2013) bahwa ada empat
kategori perilaku negative dan karakteristik yang menyertainya. Pertama, siswa
yang meminta perhatian dengan karakterisitik siswa yang sering terlambat masuk
kelas, berbicara tanpa ijin, membuat kebisingan, berbicara sebelum mendapat
giliran, berjalan-jalan dalam kelas, sengaja melanggar peraturan, memaki dan
menyerang secara verbal, menentang otoritas kelas atau sekolah. Kedua, siswa
yang mencari kekuasaan atau pengaruh yaitu sering menunjukkan kecemasan, sering
mengeluh lelah atau pusing, mencoba memanfaatkan rasa bersalah orang lain untuk
mendapatkan kontrol, sering protes dan mengganggu, mencoba mengontrol guru dan
teman-teman di kelas, dan bersikap otoriter. Perilaku negatif ketiga, siswa
yang ingin membalas dendam yaitu siswa cenderung kritis terhadap kelas, siswa
lain, atau guru. Karakteristik siswa tersebut antara lain argumentative, sering
mengajukan pertanyaan “mengapa?”, dingin dan menarik diri, sering melamun,
sombong dan angkuh, mengerjakan tugas sesuka hati, tidak mengikuti peraturan
yang telah ditetapkan, kritis terhadap peraturan yang ada.
Keempat, siswa yang
merasa tidak memiliki kemampuan yaitu sering mengabaikan guru, tidak
berpartisipasi dalam aktivitas kelas, mengancam tidak mau mengerjakan
tugas-tugas, cenderung bereaksi berlebihan terhadap suatu peristiwa, masuk
kelas tanpa persiapan atau tidak mengerjakan tugas sesuai dengan tingkat
kemampuannya, serta emosinya tidak stabil, menyalahkan orang lain atas
kegagalannya sendiri. Keempat masalah individual tersebut akan tampak dalam
berbagai bentuk tindakan atau perilaku menyimpang, yang tidak hanya akan
merugikan dirinya sendiri tetapi juga dapat merugikan orang lain atau kelompok.
Ada empat teknik sederhana untuk mengenali adanya masalah-masalah individu
seperti diuraikan diatas pada diri para siswa. Jika guru merasa terganggu (atau
bosan) dengan tingkah laku seorang siswa, hal itu merupakan tanda bahwa siswa
yang bersangkutan mungkin mengalami masalah mencari perhatian.
Jika guru merasa
terancam (atau merasa dikalahkan), hal itu merupakan tanda bahwa siswa yang
bersangkutan mungkin mengalami masalah mencari kekuasaan. Jika guru merasa amat
disakiti, hal itu merupakan tanda bahwa siswa yang bersangkutan mungkin
mengalami masalah menuntut balas. Jika guru merasa tidak mampu menolong lagi,
hal itu merupakan tanda bahwa siswa yang bersangkutan mungkin mengalami masalah
ketidakmampuan.
Guru hendaknya
benar-benar mampu mengenali dan memahami secara tepat arah tingkah laku
siswasiswa yang dimaksud (apakah tingkah laku siswa itu mengarah ke mencari
perhatian, mencari kekuasaan, menuntut balas, atau memperlihatkan
ketidakcampuran) agar guru itu mampu menangani masalah siswa secara tepat pula.
Ada tujuh masalah kelompok menurut Johnson dan Bany dalam Entang dan Joni
(1983) yang pertama kurangnya kekompakan kelompok yang ditandai dengan adanya
kekurang-cocokkan (konflik) diantara para anggota kelompok. Konflik antara
siswa-siswa dari kelompok yang berjenis kelamin atau bersuku berbeda termasuk
kedalam kategori kekurang-kompakan ini.
Dapat dibayangkan bahwa
kelas yang siswasiswa tidak kompak akan beriklim tidak sehat yang diwarnai oleh
adanya konflik, ketegangan dan kekerasan. Siswa-siswa di kelas seperti ini akan
merasa tidak senang dengan kelompok kelasnya sehingga mereka tidak merasa
tertarik dengan kelas yang mereka duduki itu. Para siswa tidak saling bantu
membantu. Kemudian, kekurangmampuan mengikuti peraturan kelompok. Jika suasana
kelas menunjukkan bahwa siswa-siswa tidak mematuhi aturan-aturan kelas yang
telah ditetapkan, maka masalah yang kedua muncul, yaitu kekurang-mampuan
mengikuti peraturan kelompok.
Contoh-contoh masalah
ini ialah berisik; bertingkah laku mengganggu padahal pada waktu itu semua
siswa diminta tenang; berbicara keras-keras atau mengganggu kawan padahal waktu
itu semua siswa diminta tenang bekerja di tempat duduknya masing-masing;
dorong-mendorong atau menyela waktu antri di kafetaria dan lain-lain. Masalah
selanjutnya, adanya reaksi negatif terhadap sesama anggota kelompok. Reaksi
negatif terhadap anggota kelompok terjadi apabila ekspresi yang bersifat kasar
yang dilontarkan terhadap anggota kelompok yang tidak diterima oleh kelompok
itu, anggota kelompok yang menyimpang dari aturan kelompok atau anggota
kelompok yang menghambat kegiatan kelompok. Anggota kelompok dianggap
“menyimpang” ini kemudian “dipaksa” oleh kelompok itu untuk mengikuti kemauan
kelompok. Penerimaan kelas (kelompok) atas tingkah laku yang menyimpang juga
merupakan masalah kelompok.
Penerimaan kelompok
(kelas) atas tingkah laku yang menyimpang terjadi apabila kelompok itu
mendorong timbulnya dan mendukung anggota kelompok yang bertingkah laku
menyimpang dari norma-norma sosial pada umumnya. Contoh yang amat umum ialah
perbuatan memperolok-olokan misalnya membuat gambar-gambar yang “lucu” tentang
guru. Jika hal ini terjadi maka masalah kelompok dan masalah perorangan telah
berkembang dan masalah kelompok kelihatannya lebih perlu mendapat perhatian.
Kegiatan anggota atau kelompok yang menyimpang dari ketentuan yang telah
ditetapkan, berhenti melakukan kegiatan atau hanya meniru-niru kegiatan orang
(anggota) lainnya saja. Masalah kelompok anak timbul dari kelompok itu mudah
terganggu dalam kelancaran kegiatannya. Dalam hal ini kelompok itu mereaksi
secara berlebihan terhadap halhal yang sebenarnya tidak berarti atau bahkan
memanfaatkan hal-hal kecil untuk mengganggu kelancaran kegiatan kelompok itu.
Contoh yang sering terjadi ialah para siswa menolak untuk melakukan karena
mereka beranggapan guru tidak adil. Jika hal ini terjadi, maka suasana diwarnai
oleh ketidaktentuan dan kekhawatiran. Ketiadaan semangat, tidak mau bekerja,
dan tingkah laku agresif atau protes.
Masalah kelompok yang
paling rumit ialah apabila kelompok itu melakukan protes dan tidak mau
melakukan kegiatan, baik hal itu dinyatakan secara terbuka maupun terselubung.
Permintaan penjelasan yang terus menerus tentang sesuatu tugas, kehilangan
pensil, lupa mengerjakan tugas rumah atau tugas itu tertinggal di rumah, tidak
dapat mengerjakan tugas karena gangguan keadaan tertentu, dan lain-lain
merupakan contoh-contoh protes atau keengganan bekerja. Pada umumnya protes dan
keengganan seperti itu disampaikan secara terselubung dan penyampaian secara
terbuka biasanya jarang terjadi. Masalah selanjutnya adalah ketidakmampuan
menyesuaikan diri terhadap perubahan lingkungan. Ketidak-mampuan menyesuaikan
diri terhadap lingkungan terjadi apabila kelompok (kelas) mereaksi secara tidak
wajar terhadap peraturan baru atau perubahan peraturan, pengertian keanggotaan
kelompok, perubahan peraturan, pengertian keanggotaan kelompok, perubahan
jadwal kegiatan, pergantian guru dan lain-lain.
Apabila hal itu terjadi
sebenarnya para siswa (anggota kelompok) sedang mereaksi terhadap suatu
ketegangan tertentu; mereka menganggap perubahan yang terjadi itu sebagai
ancaman terhadap keutuhan kelompok. Contoh yang paling sering terjadi ialah
tingkah laku yang tidak menyenangkan pada siswa terhadap guru pengganti,
padahal biasanya kelas itu adalah kelas yang baik.[9]
BAB
III
PENUTUP
A. Simpulan
1. Pengertian pengelolaan kelas adalah suatu
usaha yang dengan sengaja dilakukan guna mencapai tujuan pengajaran. Kesimpulan
sederhananya adalah pengelolaan kelas merupakan kegiatan pengaturan kelas untuk
kepentingan pengajaran.
2. Tujuan Pengelolaan Kelas adalah menyediakan
fasilitas bagi bermacam macam kegiatan belajar siswa dalam lingkungan sosial, emosional,
dalam intelektual dalam kelas.
3. Peran guru dalam strategi pengelolaan kelas
adalah: Guru sebagai Demostrator, guru
sebagai Evaluator, Guru sebagai Pengelola Kelas, Guru sebagai Fasilitator.
4. Prinsip-Prinsip Pengelolaan Kelas adalah
Hangat dan Antusias, Tantangan, Bervariasi, Keluesan, Penekanan pada hal-hal
yang positif, Penanaman disiplin diri.
5. Pendekatan – pendekatan dalam pengelolaan
kelas terdiri dari: Pendekatan kekuasan,
Pendekatan Ancaman, Pendekatan kebebasan, Pendekatan Resep, Pendekatan
Pengajaran, Pendekatan Perubahan Tingkah laku, Pendekatan sosio Emosional,
Pendekatan Kerja kelompok, Pendekatan Elektis atau pluralistik.
6. Dalam pengaturan ruang belajar, hal-hal yang
diperhatikan adalah: Ukuran dan bentuk kelas, Bentuk serta ukuran bangku dan
meja anak didik, Jumlah anak didik dalam kelas, Jumlah anak didik dalam setiap
kelompok, Jumlah kelompok dalam kelas.
7. Masalah Dalam Pengelolaan Kelas adalah: Kurang
kesatuan, Tidak ada standar perilaku dalam bekerja kelompok, Reaksi negatif
terhadap anggota kelompok, Kelas mentolerasi kekeliruan-kekeliruan temannya,
Mudah mereaksi negatif atau terganggu misalnya didatangi monitor, Moral rendah,
permusuhan, Tidak mampu menyesuaikan dengan lingkungan yang berubah.
B. Saran
Kami menyadari akan
kekurangan dalam makalah ini, maka pembaca dapat menggali kembali sumber-sumber
lainnya, untuk menyempurnakannya. Jadi kami harapkan kritik yang membangun dari
anda sekalian, untuk kami lebih bisa baik dan sempurna lagi dalam pembuatan
makalah ini selanjutnya.
DAFTAR
PUSTAKA
Ivor
K. Davies, Pengelolaan Belajar, Cv. Rajawali, Jakarta, 1991.
Syaiful
Bahri Djamarah, dkk, Strategi Belajar Mengajar I, Jakarta :Rineka
Cipta, 2002.
Syaiful
Bahri Djamarah,Guru dan Anak didik dalam Interaksi Edukatif, Jakarta : Rineka
Cipta,2002.
Tutut
Sholehah, Strategi Pembelajaran yang Efektif, Jakarta : Citra
Grafika Desian, 2008.
http://jaririndu.blogspot.com/2012/09/makalah-pengelolaan-kelas.html
di Akses pada 20-06-2021 (21:28)
http://diyanshintaweecaihadiansyah.blogspot.com/2012/01/makalah-manajemen-kelas.html diakses
pada 20-06-2021 pkl 22:10
https://repository.uksw.edu/bitstream/123456789/15379/2/T2_942012009_BAB%20II.pdf
diakses pada 20/06/2021.
[1] Syaiful Bahri Djamarah,
dkk, Strategi Belajar Mengajar I, Jakarta :Rineka Cipta, 2002, h.
196
[2] Syaiful Bahri Djamarah,
dkk, Strategi Belajar Mengajar I, Jakarta :Rineka Cipta, 2002, h.
196
[3] Syaiful Bahri Djamarah,
dkk, Strategi Belajar Mengajar I, Jakarta :Rineka Cipta, 2002, h.
198
[4] Syaiful Bahri Djamarah,
dkk, Strategi Belajar Mengajar I, Jakarta :Rineka Cipta, 2002, h. 85
[5] Syaiful
Bahri Djamarah, dkk, Strategi Belajar Mengajar I, Jakarta :Rineka
Cipta, 2002, h. 199-200
[6] Syaiful
Bahri Djamarah, dkk, Strategi Belajar MengajarI, Jakarta : Rineka Cipta, 2002,
h. 206
[7] SyaifulBahriDjamarah,
Guru dan Anak didik dalam Interaksi Edukatif, Jakarta : Rineka Cipta, 2002, h.
174
[8] SyaifulBahriDjamarah,
dkk, Strategi Belajar Mengajar I, Jakarta : Rineka Cipta, 2002, h. 218
[9] https://repository.uksw.edu/bitstream/123456789/15379/2/T2_942012009_BAB%20II.pdf diakses pada
20/06/2021.
Komentar
Posting Komentar