Langsung ke konten utama
link 1  https://7an.link/nls5g link 2 https://7an.link/v7itqq link1 https://cararegistrasi.com/tf9qWl link2 https://cararegistrasi.com/d9Gzim link3 https://cararegistrasi.com/OgaMdzQ2

  


DOWNLOAD PDF HERE

MAKALAH FIQIH JINAYAH

BAB ISTIMNA' (MASTURBASI)

BAB I

PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang

Masa remaja adalah masa yang penuh dengan tantangan, ketika beranjak remaja pengaruh lingkungan sangat besar terhadap kematangan psikologi remaja, pertukaran informasi tentang kenikmatan masalah seksual membuat perilaku masturbasi ini sangat mudah diterima dan dipraktikkan.

Gejala masturbasi pubertas dan remaja, banyak sekali terjadi. Hal ini disebabkan oleh kematangan seksual yang memuncak dan tidak mendapat penyaluran yang wajar, lalu ditambah dengan rangsangan-rangsangan ekstern berupa buku-buku dan gambar porno, film biru, meniru kawan dan lain-lain

Dalam makalah ini dijelaskan mengenai bagaimana pandangan Fiqih Jinayah terhadap masturbasi, sehingga dapat diambil pelajaran dan hikmah dari pembahasan tersebut.

B.     Rumusan Masalah

Salah satu masalah yang membuat remaja tertekan yaitu mengenai dorongan seksual. Terbatasnya pengetahuan pada remaja mengenai masalah seksual mengakibatkan rasa ingin tahu dan coba-coba dalam bentuk tingkah laku. Dorongan rasa ingin tahu tentang masalah seksual mendorong remaja untuk bereksperimen sehingga timbullah perilaku seksual (masturbasi).

Dari latar belakang diatas maka masalah yang dapat dirumuskan adalah sebagai berikut:

1.      Bagaimana Pengertian Dari Masturbasi?

2.      Bagaimana Pandangan Hukum Fiqih Jinayah Terhadap Masturbasi?

3.      Bagaimana Pandangan Hukum di Indonesia Terhadap Masturbasi?

4.      Apa Saja Batasan-Batasan Pelaku Masturbasi Dalam Hukum Syariah?

 

C.    Tujuan Penulisan

Adapun tujuan umum penyusunan makalah ini adalah untuk:

1.      Menjelaskan Pengertian Masturbasi.

2.      Menjelaskan Pandangan Fiqih Jinayah Terhadap Masturbasi.

3.      Menjelaskan Pandangan Hukum Terhadap Masturbasi Di Indonesia.

4.      Menjelaskan Batasan-Batasan Pelaku Masturbasi Dalam Hukum Syariah

 

BAB II

PEMBAHASAN

A.    Pengertian Masturbasi

Onani atau masturbasi (dalam bahasa inggris disebut onanism, masturbation dalam bahasa arab disebut sebagai al-istimna’ atau jaldu ‘umairoh atau al-‘adab as-sirriyah atau kadang juga disebut al-khadkhadbab adalah masalah yang sering dihadapi oleh anak remaja, pemudan dan kadang juga orang dewasa. Onani dilakukan karena dorongan seksual yang menggebugebu, sedang ia sendiri belum siap untuk menikah atau jauh dari istrinya. Konon, menurut penjelasan secara psikologi, sebagian besar remaja laki-laki melakukan praktek tak terpuji ini, dan sedikit wanita juga mempraktekan masturbasi.[1]

Istilah martubusi ini berasal dari bahasa inggris, masturbation. Menurut ahli hukum islam, martubusi ini disebut dengan istilah al-istimna’, yang berarti onani atau perancapan. Kata ini sebenarnya berasal dari isim (kata benda) almaniyy (air mani), kemudian dialihkan menjadi fi’il (kata kerja) istimna yastamni lalu menjadi istimna’, yang berarti mengeluarkan air mani. Pengertian onani ini sebenarnya adalah mengeluarkan air mani dengan cara menggunakan salah satu anggota badan (tangan misalnya) untuk mendapat kepuasan seks.[2]

Bicara tentang onani dan masturbasi, pada prinsipnya adalah sebuah tindakan yang berfungsi sebagai cara merangsang alat kelamin dengan tangan atau benda lainnya untuk mendapat suatu taraf orgasme. Pada umumnya, onani dan masturbasi menyangkut rangsangan dan pemuasan diri sendiri, walaupun demikian onani dan masturbasi lumrah dilakukan oleh dua orang dalam kapasitas hubungan heteroseksual.[3]

Menurut pendapat Chaplin menyatakan bahwa onani atau masturbasi adalah coitus interreputus persenggaman yang mana zakar ditarik keluar dan air mani kemudian dilepaskan, ditariknya buah zakar keluar sebelum mangalami enjakulasi (Chaplin, 1993 : 339). Menurut Bukhori onani atau masturbasi yaitu mencapai kepuasan seks dengan diri sendiri. Seperti suka menggosok-gosokan penisnya dengan tangan sampai enjakulasi. Perbuatan ini hampir umum dilakukan di kalangan pria dan hanya sebagian kecil di kalangan wanita, terutama pada masa pancaroba di saat mulai meningkatnya nafsu birahi (Bukhori, 2005 : 122). Masturbasi atau banyak orang menyebutnya onani adalah ransangan yang sengaja dilakukan pada organ kelamin untuk memperoleh kenikmatan dan kepuasan seksual tanpatanpa bersenggama dengan lawan jenis. Tindakan masturbasi dapat terjadi ketika seseorang dalam keadaan nafsu syahwat yang meningkat dan tidak adanya seorang pasangan untuk menyalurkan nafsunya tersebut. Tetapi tetap didasari dengan kekuatan mental, maksudnya adalah ada orang yang dapat menahan nafsu dan tindakan masturbasi atau onani dapat dicegah. Ada lagi yang tidak dapat menahan nafsu sehingga tindakan masturbasi atau onani dilakukan.[4]

Dari beberapa penjelasan di atas maka dapat disimpulkan bahwa onani atau masturbasi ialah pemuasan nafsu seksual yang dilakukan dengan menggunakan tangan, yaitu berupa menggesek-gesekan bagian alat kelamin hingga mencapai orgasme atau menggunakan alat bantu lainnya. Dengan kata lain onani atau masturbasi adalah menyalurkan hasrat seksual dengan cara merangsang alat kelamin baik dengan menggunakan tangan dan sebagainya. Perilaku ini juga dinamakan dengan kebiasaan rahasia, karena dilakukan dengan cara sembunyi-sembunyi. Dan kebiasaan ini banyak dilakukan oleh remaja yang sedang mengalami kematangan seksual, baik pria maupun wanita. Hal ini, sering terjadi ketika mereka dalam keadaan kurang mendapatkan pengarahan dan pendidikan yang benar.[5]

B.     Pandangan Fiqih Jinayah Terhadap Masturbasi

Istilah masturbasi berasal dari bahasa Inggris “masturbation”. Dan juga dibicarakan oleh ahli hukum Islam, yang disebutnya sebagai istilah al-istimnau (الإِسْتِمْنَاءُ), yang berarti masturbasi atau perancapan. Kata ini, sebenarnya berasal dari isim (kata benda) Al-maniu (المَنِيُّ) air mani, kemudian dialihkan menjadi fi’il (kata kerja) إِسْتِمْنَى- يَسْتَمْنِى, lalu menjadi  إِسْتِمْنَاءً yang berarti mengeluarkan air mani. Tetapi sebenarnya pengertiam masturbasi (masturbasi), adalah mengeluarkan air mani dengan cara menggunakan salah satu anggota badan (misalnya tangan), untuk mendapatkan kepuasan seks.

Ulama hukum Islam berbeda pendapat dalam menetapkan kepastian hukum tentang perbuatan masturbasi, karena mereka berbeda tinjauan dalam memandang hal-hal yang melatarbelakangi terjadinya perbuatan tersebut. Maka berikut ini dapat dikemukakan beberapa macam pendapat Ulama’ Hukum, yaitu:

1.      Pengikut Madzhab Malikiyah, Syafiiyah dan Zaidiyah, mengatakan: perbuatan masturbasi hukumnya haram, karena Allah SWT memerintahkan agar selalu menjaga alat kelaminnya supaya tidak tersalurkan ke jalan yang haram. Pendapat ini didasarkan pada tiga ayat Surah Al-Mu’minun ayat 5,6,7 yang berbunyi:

وَالَّذِينَ هُمْ لِفُرُوجِهِمْ حَافِظُونَ . إِلا عَلَى أَزْوَاجِهِمْ أوْ مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُهُمْ فَإِنَّهُمْ غَيْرُ مَلُومِينَ .فَمَنِ ابْتَغَى وَرَاءَ ذَلِكَ فَأُولَئِكَ هُمُ الْعَادُونَ

Artinya: Dan orang-orang yang menjaga kemaluannya (5), kecuali terhadap isteri-isteri mereka atau budak yang mereka miliki, Maka Sesungguhnya mereka dalam hal ini tiada terceIa (6) Barangsiapa mencari yang di balik itu, Maka mereka Itulah orang-orang yang melampaui batas (7).

2.      Pengikut Madzhab Hanabilah, mengatakan: perbuatan masturbasi hukumnya haram dan diperbolehkan dalam agama bila seseorang bermaksud untuk terhindar dari dorongan libido yang mengarah pada perzinaan.

3.      Imam Ibnu Hazm, mengatakan: perbuatan masturbasi hukumnya makruh, dan kalau dilakukannya karena menghindari perbuatan zina misalnya maka agama membolehkannya, asalkan dilakukan dengan menggunakan tangan kiri. Pendapat ini didasarkan pada pendapat para sahabat dan tabiin antara lain:

a.       Ibnu Umar dan Athaa menetapkan hukumnya makruh

b.      Ibnu Abas, al-Hasan dan beberapa Ulama’ pembesar tabiin hukumnya boleh.

4.      Pengikut Madzhab Hanafiah, mengatakan: perbuatan masturbasi pada prinsipnya haram, tetapi kadang-kadang wajib bila dilkukan untuk menghindari perbuatan zina. Karena upaya menghindari perbuatan tersebut hukumnya wajib.[6]

C.    Pandangan Hukum Terhadap Masturbasi Di Indonesia

Menurut hukum yang berlaku di indonesia maka masturbasi (onani dan masturbasi) ini diatur di dalam UNDANG-UNDANG NOMOR 44 TAHUN 2008 TENTANG PORNOGRAFI. Dalam hal ini, masturbasi tertera pada BAB II mengenai larangan dan pembatasan di pasal 4 poin 1 yang berbunyi:

1.      Setiap orang dilarang memproduksi, membuat, memperbanyak, menggadakan, menyebarluaskan, menyiarkan, mengimpor, mengekspor, menawarkan, memperjualbelikan, menyewakan atau menyediakan pornografi yang secara ekplisit memuat:

a.       Persenggaman, termasuk persenggaman yang menyimpang

b.      Kekerasan seksual

c.       Masturbasi atau onani

d.      Ketelanjangan atau tampilan yang mengesankan ketelanjangan

e.       Alat kelamin

f.         Pornografi anak[7]

D.    Batasan-Batasan Pelaku Masturbasi Dalam Hukum Syariah

Masturbasi yang dilakukan dengan bantuan tangan atau anggota tubuh lainnya dari istri atau budak wanita yang dimiliki. Jenis ini hukumnya halal, karena termasuk dalam keumuman bersenang-senang dengan istri atau budak wanita yang dihalalkan oleh Allah SWT. Demikian pula hukumnya bagi wanita dengan tangan suami atau tuannya (jika ia berstatus sebagai budak). Karena tidak ada perbedaan hukum antara laki-laki dan perempuan hingga tegak dalil yang membedakannya, Wallahu a’lam. Dalil yang mendasari keumuman pendapat ini adalah sebagaimana Firman Allah SWT:

وَالَّذِينَ هُمْ لِفُرُوجِهِمْ حَافِظُونَ . إِلا عَلَى أَزْوَاجِهِمْ أوْ مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُهُمْ فَإِنَّهُمْ غَيْرُ مَلُومِينَ .فَمَنِ ابْتَغَى وَرَاءَ ذَلِكَ فَأُولَئِكَ هُمُ الْعَادُونَ

Artinya: Dan orang-orang yang menjaga kemaluannya (5), kecuali terhadap isteri-isteri mereka atau budak yang mereka miliki, Maka Sesungguhnya mereka dalam hal ini tiada terceIa (6) Barangsiapa mencari yang di balik itu, Maka mereka Itulah orang-orang yang melampaui batas (7).

       Sedangkan sekelompok sahabat, tabi’in, dan ulama termasuk Al- Imam Ahmad ra. memberi toleransi untuk melakukannya pada kondisi tersebut yang dianggap sebagai kondisi darurat. Namun nampaknya pendapat ini harus diberi persyaratan seperti kata Al-Albani ra. Dalam Tamamul Minnah hal. 420-421: “ Kami tidak mengatakan bolehnya onani bagi orang yang khawatir terjerumus dalam perzinaan, kecuali jika dia telah menempuh pengobatan Nabawi (yang diperintahkan oleh Nabi SAW), yaitu sabda Nabi SAW kepada kaum pemuda dalam hadits yang sudah dikenal yang memerintahkan mereka untuk menikah dan beliau bersabda yang atinya sebagai berikut:

“Maka barangsiapa belum mampu menikah hendaklah dia berpuasa, karena sesungguhnya puasa merupakan obat yang akan meredakan syahwatnya”

       Disamping itu, Ibnu Hazm juga menyandarkan keumuman ayat tentang etika menggauli istri sebagaiamana Firman Allah SWT, yaitu:

       Artinya: “Isteri-isterimu adalah (seperti) tanah tempat kamu bercocok tanam, Maka datangilah tanah tempat bercocok-tanammu itu bagaimana saja kamu kehendaki. dan kerjakanlah (amal yang baik) untuk dirimu, dan bertakwalah kepada Allah dan Ketahuilah bahwa kamu kelak akan menemuiNya. dan berilah kabar gembira orang-orang yang beriman.” Q.S Al-Baqarah ; 223.

       Dari beberapa uraian diatas, dapat diambil kesimpulan bahwa batasan – batasan pelaku yang diperbolehkan dalam masturbasi menurut pendapat Ibnu Hazm adalah bercampurnya suami istri atau tuan dengan budaknya yang melakukan masturbasi yang mungkin didalamnya termasuk masturbasi ketika istri sedang mengalami haid atau sebagai alternatif dalam hubungan jima’ suami istri dan sesuai dengan firman Allah SWT serta dasar hukum yang sudah terurai dalam pembahasan ini.[8]

BAB III

PENUTUP

A.    Kesimpulan

Berdasarkan penjelasan diatas maka dapat kita ketahui bahwa masturbasi merupakan pemuasan nafsu seksual yang dilakukan dengan menggunakan tangan, yaitu berupa menggesek-gesekan bagian alat kelamin hingga mencapai orgasme. Perilaku masturbasi ini termasuk perbuatan yang menyimpang karena di dalam konteks pandangan hukum islam dan indonesia sudah diatur. Maka sebagai seorang muslim mari kita upayakan untuk menghindari perbuatan masturbasi ini supaya kita dapat terhindar dari perilaku-perilaku yang menyimpang dari norma-norma agama dan norma-norma sosial.

B.     Saran

Apabila di dalam proses pengerjakan makalah ini tedapat salah kata dalam penulisan atau kurang dalam proses pencarian sumber-sumber data , kami selaku penulis mohon maaf karena saya juga perlu banyak belajar dalam penyusunan makalah yang benar. Kami selaku penulis juga berharap untuk mendapatkan kritik dari bapak dosen dan para mahasiswa sebagai bahan evaluasi untuk lebih memperluas wawasan mengenai proses penyusunan makalah.

Sebagai generasi muda yang baik kita upayakan bersama-sama untuk mencari wawasan yang luas karena dengan ilmu pengetahuan kita dapat menggapai masa depan yang cerah dan semoga makalah yang penulis buat dapat bermanfaat bagi para pembacanya khususnya di kalangan mahasiswa STAI AL-FALAH dan masyarakat umum.


DAFTAR PUSTAKA

Trigiyatno, Ali. “HUKUM ONANI : PERSPEKTIF PERBANDINGAN MAZHAB.” JURNAL HUKUM ISLAM (JHI), no.1 (2015) : 36.

Andi Mattalanta. “UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 44 TAHUN 2008 TENTANG PORNOGRAFI.” DEPKUMHAM, 26 November 2008, http://www.djpp.depkumham.go.id

EMA ARIDLHOTUL LICHYATI, “Onani/masturbasi dan upaya penanggulangannya menurut kartini kartono.” Skripsi, IAIN WALISONGO SEMARANG, 2009.

Aibak, Kutbuddin. KAJIAN FIQIH KONTEMPORER. Yogyakarta : KALIMEDIA Cet. I, 2017.

Inzah, M. “IBN HAZM DAN IMAM SYAFI’I MEMBINCANG ISTIMNA’.” AsySyari’ah, no.2 (2016) : 171-172.

Zahara, Dinda Arum Dwi Anjani.“ KEJADIAN YANG MEMPENGARUHI REMAJA LAKI-LAKI DALAM MELAKUKAN MASTURBASI.” KEBIDANAN, no.2 (2020) : 223.

Mahjudin, Masailul Fiqhiyah, Jakarta: Kalam Mulia, 1990

https://www.scribd.com/document/503971749/MAKALAH-K-4-ONANI-DAN-MASTURBASI diakses pada tanggal 08 Des. 21, pukul 21:33 WIB.

http://zanuraini-rental.blogspot.com/2011/08/onani-masturbasi-homoseksual-dan.html?m=1 diakses pada tanggal 08 Des. 21, pukul 21:33 WIB.



[1] Ali Trigiyatno, “ HUKUM ONANI : PERSPEKTIF PERBANDINGAN MAZHAB,” JURNAL HUKUM ISLAM (JHI), no.1 (Februari, 2015) : 36.

[2] Kutbuddin Aibak, KAJIAN FIQH KONTEMPORER (Yogyakarta : KALIMEDIA Cet. I, 2017), 101-102.

[3] M. Inzah, “ IBN HAZM DAN IMAM SYAFI’I MEMBINCANG ISTIMNA’,” Asy-Syari’ah, no.2 (Januari,2016) : 171-172.

[4] Arum Dwi Anjani dan Dinda Zahara, “ KEJADIAN YANG MEMPENGARUHI REMAJA LAKI-LAKI DALAM MELAKUKAN MASTURBASI,” KEBIDANAN, no.2 (April, 2020) : 223.

[5] EMA ARIDLHOTUL LICHYATI, “ Onani/masturbasi dan upaya penanggulangannya menurut kartini kartono “ (Skripsi, IAIN WALISONGO SEMARANG, 2009),16.

[6] Mahjudin, Masailul Fiqhiyah, hlm. 26-28

[7] Andi Mattalanta, “ UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 44 TAHUN 2008 TENTANG PORNOGRAFI,” DEPKUMHAM, 26 November 2008, http://www.djpp.depkumham.go.id

[8] Ali Trigiyatno, “ HUKUM ONANI : PERSPEKTIF PERBANDINGAN MAZHAB,” JURNAL HUKUM ISLAM (JHI), no.1 (Februari, 2015) : 39.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

   ENAM SIFAT SAHABAT GET PDF FILE  HERE Ba’duth Thullab MAKSUD DAN TUJUANNYA : Agar tertanam sifat-sifat yang mulia para sahabat r.a di dalam diri kita, sehingga memudahkan kita untuk mengamalkan agama secara sempurna. ENAM SIFAT SECARA RINGKAS MENURUT MASYAIKH: Syaikh Muhammad Yusuf rah.a.: “ Untuk mencapai kehendak yang dimaksud oleh Allah dalam penciptaan manusia, maka setiap manusia hendaknya memiliki keyakinan yang benar, amal yang benar, ilmu yang benar, cara yang benar, akhlak yang benar, niat yang benar, yang ditanamkan ke dalam dirinya dengan mengorbankan diri, harta dan waktunya. Tanpa ini semua, maka manusia tidak akan memahami apa yang dikehendaki oleh Allah dari dirinya, sehingga ia tidak jauh berbeda dengan hewan dan makhluk-makhluk lainnya .” Syaikh In’amul Hasan rah.a.: “ Mewujudkan agama yang sempurna dengan membawa iman, shalat, ilmu dan ketawajuhan kepada Allah, disertai sifat memaafkan hak-hak kita yang tidak ditunaikan dan berusaha selalu menunaikan ...
 Download PDF FILE HERE   BAB I PENDAHULUAN A.      Latar Belakang Masalah pokok yang dihadapi guru, baik pemula maupun yang sudah berpengalaman adalah pengelolaan kelas. Aspek yang paling sering didiskusikan oleh penulis profesional dan oleh para pengajar adalah juga pengelolaan kelas. Mengapa demikian? Jawabnya sederhama. Pengelolaan kelas merupakan masalah tingkah laku yang kompleks, dan guru menggunakannya untuk meciptakan dan mempertahankan kondisi kelas sedemikian rupa sehingga anak didik dapat mencapai tujuan pengajaran efisien dan menggunakan mereka dapat belajar. Dengan demikian pengelolaan kelas yang efektif adalah syarat bagi pengajaran yang efektif. Tugas utama dan paling sulit bagi guru adalah pengelolaan kelas, lebih-lebih tidak ada satu pun pendekatan yang dikatakan paling baik. Dengan masalah yang telah bukan rahasia umum itu maka penulis menarik kesimpulan untuk lebih membuka lagi mengenai judul yang akan kami bahas yaitu “Pengelola...
link 1  https://7an.link/nls5g link 2 https://7an.link/v7itqq link1 https://cararegistrasi.com/tf9qWl link2 https://cararegistrasi.com/d9Gzim link3 https://cararegistrasi.com/OgaMdzQ2